JAKARTA, iNewsAmbon.id - Kisah inspiratif berasal dari Ratu Boi Maira Suat Pasai atau Boymaira Suat Pasai, seorang pemuda yang besar di Kabupaten Buru Selatan, Pulau Buru, Maluku. Dilahirkan dari keluarga sederhana dengan orang tua yang bekerja sebagai petani, Boy meneruskan pendidikannya hingga mendapatkan beasiswa untuk S2 Ilmu Hukum di UGM.
Boy memiliki impian untuk meraih pendidikan tinggi. Tidak puas hanya dengan lulus SMA dan sarjana, dia terus mengejar pendidikan hingga tingkat magister. Tujuannya adalah untuk membantu kampung halamannya yang masih tertinggal dalam bidang pendidikan dan pengetahuan.
Sebagai Anak Petani di Daerah Afirmasi
Leluhur Boy berasal dari Kepulauan Kei, Maluku. Orang tuanya pindah ke Pulau Buru untuk mencari kehidupan baru dan menjadi petani dengan menanam cengkeh, pala, dan kopra.
Boy lahir dan menghabiskan sebagian besar waktunya di Kabupaten Buru Selatan. Rumahnya hanya berjarak satu lemparan batu dari pantai, tepatnya dekat dengan Pantai Desa Waeteba.
Ekonomi masyarakat Pulau Buru bergantung pada hasil laut dan pertanian. Misalnya, harga kopra per kilogram adalah Rp3.000, dan satu panen biasanya menghasilkan sekitar satu ton, yang setara dengan pendapatan sebesar Rp3.000.000. Dua panen dilakukan dalam setahun, sehingga total pendapatan selama setahun hanya sekitar Rp6.000.000.
Pendapatan seperti itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yang rata-rata memiliki tiga sampai lima anak. Dalam kondisi ini, tidak mengherankan jika mayoritas penduduk hanya menamatkan SMP atau SMA, dan pendidikan tinggi dianggap sebagai sesuatu yang jauh dari jangkauan.
"Kemungkinan orang merasa sulit untuk melanjutkan ke perguruan tinggi adalah karena kondisi ekonomi keluarga," kata Boy, seperti yang dikutip dari situs LPDP Kemenkeu.
Struktur ini menyebabkan pendidikan bukanlah prioritas utama. Bahkan orang yang cukup mampu, seperti pemilik kebun, juga enggan melanjutkan pendidikan tinggi karena anggapan bahwa lulus sekolah tidak menjamin pekerjaan yang layak.
Keluarga Boy adalah salah satu yang menyadari pentingnya pendidikan tinggi. Dari lima saudara, tiga di antaranya sudah menamatkan perguruan tinggi, termasuk Boy.
Tantangan Akses Pendidikan di Wilayah Kepulauan
Maluku adalah wilayah kepulauan yang memerlukan transportasi laut atau udara untuk berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya. Sekolah dan universitas terbaik masih berada di pulau lain.
Meskipun masih di wilayah Maluku, perjalanan Boy untuk mencapai Pulau Ambon, tempat dia melanjutkan pendidikan, tidaklah mudah. Dari kampungnya, dia harus pergi ke Kota Namrole dan kemudian ke Kota Ambon menggunakan kapal feri selama 7-8 jam. Alternatifnya, dia bisa menggunakan pesawat selama 25 menit, namun lebih mahal.
Boy menyelesaikan SMA dan sarjana Ilmu Hukum Universitas Pattimura pada tahun 2022 di Ambon. Hanya dalam waktu 3 tahun 8 bulan, dia berhasil meraih gelar Sarjana Hukum.
Dukungan dari teman, saudara, dan keluarga mendorong Boy untuk melanjutkan pendidikan S2. Pilihannya jatuh pada Magister Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) karena dia tertarik dengan kualitas dan kompetensi dosen di sana.
LPDP memiliki program Beasiswa Daerah Afirmasi yang ditujukan untuk putra-putri daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Pulau Buru, tempat Boy berasal, termasuk dalam program ini.
Boy pertama kali mengetahui tentang beasiswa LPDP dari kakaknya pada tahun 2021. Minatnya didukung oleh senior dan rekan-rekannya di kampus. Akhirnya, dia berhasil lolos seleksi beasiswa LPDP pada tahun 2023 melalui program Beasiswa Daerah Afirmasi dan diterima sebagai mahasiswa S2 Ilmu Hukum UGM.
Harapan Kembali ke Kampung Halaman, Memberikan Bantuan Hukum
Meskipun akan memulai studi Magister Ilmu Hukum pada pertengahan tahun, Boy berharap bisa kembali ke kampung halaman dan memberikan bantuan hukum secara pro bono. Penelitian skripsinya membahas tentang penyalahgunaan senjata tajam di kalangan masyarakat adat di Buru Selatan.
Masyarakat adat tersebut biasanya membawa senjata tajam saat berpergian di lingkungan mereka, baik di tempat umum maupun di perkotaan. Ini berbeda dengan orang Buru di perkotaan yang tidak membawa senjata tajam saat bepergian. Kebiasaan ini berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan.
Selain itu, masih banyak masalah hukum lainnya, seperti konflik tanah dan tambang, yang menyebabkan ketidakpahaman hukum dan biaya perkara yang tinggi. Sebagai anak hukum yang mengerti kondisi di daerahnya, Boy ingin mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) setelah menyelesaikan S2.
Dengan adanya LBH, masyarakat akan lebih memahami konsekuensi hukum dari perbuatannya dan dapat mengurangi beban biaya hukum.
Prestasi Boy dalam menempuh pendidikan dengan beasiswa LPDP dapat menjadi contoh bagi generasi muda di Pulau Buru dan sekitarnya untuk mengejar pendidikan tinggi.
"Melalui pendidikan, saya yakin wilayah saya akan maju," kata pemuda tersebut, yakin bahwa pendidikan akan membawa perubahan positif bagi daerahnya.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta