“Sepanjang pengalaman saya sebagai jurnalis ada satu contoh kasus, yakni ketika Tabloid Monitor mengadakan polling ‘siapa yang paling disukai masyarakat Indonesia?’. Kemudian muncul nama Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor sebagai pemenang paling disuka," ungkapnyai.
Polling tersebut, lanjut Hari, dilakukan oleh bagian iklan dan yang memilih adalah pembaca monitor. Dalam mekanisme pers cetak, ada sistem ralat, hak jawab, kemudian dewan pers dan hukum. Ketika ralat, hak jawab, dan dewan pers tidak bisa menanganinya maka perkara dibawa ke sidang pengadilan dan Arswendo dijatuhi hukuman 5 tahun penjara dan Tabloid Monitor diberedel.
Sayangnya, sebut Hari, jika ada konten yang merugikan pihak lain pada platform digital, sanksi yang diberikan hanya menurunkan atau menghapus konten yang merugikan. Sebagai pencipta lagu yang dirugikan justru tidak mendapat solusi lain, walaupun konten tersebut sudah disalin tempel (copy paste) dan diunduh (download) serta diedarkan di medsos.
“Tidak ada pertanggungjawaban sama sekali dari pihak platform digital yang pertama kali memberikan ruang untuk mengunggah konten tersebut sebagai konsumsi publik,” ujarnya.
Hari menyebut kejadian seperti itu sangat merugikan pencipta lagu sebagai korban karena eksploitasi konten-konten yang menjiplak dan menggunakan karya kreatifnya tanpa izin.
“Lagu dan karya kreatif kami barangkali memang sekadar hiburan, akan tetapi bagaimana jika seandainya yang dieksploitasi tanpa izin tersebut adalah lagu-lagu nasional? Apakah sanksinya juga hanya ditakedown atau dihapus, dan perkara dianggap selesai? Bagaimana jika lagu-lagu nasional tersebut digunakan untuk menjual hal-hal yang tidak pantas, atau bahkan mempromosikan ideologi terlarang di Indonesia,” tandasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh pencipta lagu di bawah naungan label Aquarius Musikindo, Yudis Dwikorana yang hadir sebagai Saksi Pemohon.
Editor : Nevy Hetharia