AMBON, iNewsAmbon.id – Ketua Gasira Maluku Liz Marantika mengungkapkan bahwa konflik sosial di Maluku 25 tahun silam merenggut nyawa laki-laki dan merampas kebahagiaan perempuan serta anak-anak.
Hal itu terungkap dalam Dialog di Kantor RRI Ambon, Senin (22/1/2024).
Selain Liz Marantika, dialog ini menghadirkan pembicara lain yakni Guru Besar Universitas Kristen Indonesia Maluku Pdt Prof Jhon Ruhulessin, DR Abidin Wakano, dan Kabid Humas Polda Maluku Kombes M Rum Ohoirat.
Menurut Marantika, psikologis perempuan dan anak yang mengalami konflik pada tahun 1999 sangat terganggu, bahkan beberapa di antaranya menjadi korban jiwa.
Dampak konflik sosial di Maluku juga mencakup kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak.
Konflik tersebut juga membatasi gerak sosial kaum perempuan.
Marantika menekankan bahwa konflik sosial harus menjadi pembelajaran bagi semua orang.
Penting untuk mencegah faktor-faktor yang memposisikan masyarakat pada situasi rentan, seperti ketidakadilan dan kemiskinan.
Sementara Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Rum Ohoirat menyatakan bahwa konflik sosial di Maluku tidak memberikan manfaat dan malah membawa dampak kerugian serta kehancuran bagi masyarakat sendiri.
Tanggal 21 Januari 1999, dua hari setelah awal kerusuhan di kota Ambon, menjadi momen penting yang menyaksikan kekerasan, pembunuhan, dan kerusakan di berbagai tempat.
Data dari lembaga survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa kerusuhan di Maluku menelan korban hingga 8.000-9.000 jiwa, dengan banyak warga mengungsi dan kerusakan bangunan yang signifikan.
Ohoirat menegaskan bahwa kerusuhan di Maluku harus dijadikan pembelajaran dan perhatian bersama.
Kehidupan sosial dan ekonomi yang terbangun sejak leluhur menjadi hancur, dan perlu menjaga budaya persaudaraan dalam bingkai pela gandong.
Dalam menghadapi tahun politik, Ohoirat mengajak masyarakat untuk menjaga persaudaraan dan silaturahmi, serta berharap agar pemilu serentak berjalan dengan aman dan damai.
Editor : Nevy Hetharia
Artikel Terkait