AMBON, iNewsAmbon.id – Gugatan Gubernur Maluku Murad Ismail dan sejumlah kepala daerah terkait masa jabatan dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusannya, MK membatalkan ketentuan di dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mengharuskan kepala daerah hasil pilkada 2018 dan baru dilantik pada 2019 berhenti akhir tahun ini.
Dengan adanya putusan tersebut, Murad Ismail bersama 47 kepala dan wakil kepala daerah lainnya terimbas putusan ini sehingga bisa menjabat hingga lima tahun atau maksimal sampai satu bulan menjelang hari-H pemungutan suara Pilkada 2024.
Kendati terpilih dari hasil Pilkada 2018, namun Murad Ismail baru resmi dilantik pada 24 April 2019. Itu berarti masa jabatannya baru genap 5 tahun pada 24 April 2024 mendatang.
Sementara itu, dalam putusan yang dibacakan, Kamis (21/12/2023), MK mengabulkan permohonan tujuh kepala daerah yang mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada.
Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada mengatur ”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”.
Ketujuh kepala daerah tersebut adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul. Mereka didampingi oleh Febri Diansyah, Rasamala Aritonang, dan Donal Fariz dari kantor Visi Office.
Para kepala daerah tersebut mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada yang menimbulkan dua dampak berbeda terhadap 171 kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pemilihan 2018.
Bagi mereka yang dilantik pada 2018, pasal tersebut tidak menimbulkan persoalan akhir masa jabatan karena masa jabatan mereka utuh selama lima tahun atau hingga 2023.
Namun, bagi kepala daerah yang dilantik pada 2019, masa jabatan mereka terpotong dengan variasi yang beragam karena harus berakhir pada 2023.
Dari 171 kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada 2018, ada 48 kepala daerah yang pelantikannya dilakukan 2019.
Adapun rinciannya, 4 kepala daerah tingkat provinsi, 8 wali kota/wakil wali kota, dan 36 bupati/wakil bupati.
MK menilai, kondisi tersebut menyebabkan perlakuan yang berbeda dalam hal pelantikan sehingga pada akhirnya menyebabkan perbedaan lamanya masa jabatan yang diperoleh setiap kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Padahal, 171 kepala daerah atau wakil kepala daerah tersebut dipilih pada pemilihan yang sama, yaitu pada 2018.
”Berkenaan dengan hal tersebut, menurut Mahkamah, pengaturan transisi terkait dengan pemungutan suara secara serentak tidak dapat mengabaikan pengaturan terkait pelantikan kepala daerah dan wakilnya. Pengaturan tentang pemungutan suara secara serentak harus diikuti oleh norma yang mengatur tentang pelantikan secara serentak,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Terkait dengan penghitungan masa jabatan lima tahun sejak pelantikan, MK tidak dapat memenuhi permohonan para kepala daerah yang mengajukan uji materi Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada. Pemohon meminta agar masa jabatan mereka hingga terselenggaranya pemungutan suara Pilkada 2024.
”Menurut Mahkamah, hal tersebut tidak dapat dipenuhi mengingat diperlukan waktu yang cukup untuk menunjuk penjabat daerah sehingga tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah yang berdasarkan penalaran yang wajar dan dipandang cukup, yaitu satu bulan sebelum hari-H pemungutan suara serentak secara nasional yang diberlakukan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang masa jabatannya melewati hari pemungutan suara serentak dilakukan tahun 2024,” ujar Saldi.
MK menyatakan, Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada telah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan memberikan perlakuan berbeda di hadapan hukum.
Oleh karena itu, MK menyatakan pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama lima tahun terhitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati satu bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.
Pengacara Febri Diansyah mengungkapkan, persoalan ini bukan hanya masalah masa jabatan yang harus lima tahun. Namun, hal itu juga terkait dengan amanat pemilih. Ia juga berharap agar kepala daerah betul-betul bisa memberi manfaat kepada masyarakat, khususnya di 48 wilayah yang terkena dampak putusan MK.
Editor : Nevy Hetharia
Artikel Terkait